Jumat, 23 Oktober 2015

Kerajaan Sunda




Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

Sumber-sumber Prasasti
1.   Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi). Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut:
Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda. Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ).
2.   Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte): Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.

Sumber Berita Asing
1.   Menurut F. Hirt dan WW Rockhill, ada sumber-sumber berita Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Chan Ju-kua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Chu-fan-chi, yang ditulis dalam tahun 1178-1225 Masehi, menyebutkan pelabuhan air di Sin-t'o (Sunda). Chu-fan-chi melaporkan bahwa: Orang-oarang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman.
Buku berbahasa Cina "shun-feng hsiang-sung" dari sekitar 1430 AD mengatakan: Dalam perjalanan ke arah timur dari Sunda, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon.
2.   Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tome Pires dari Portugal. Dalam laporannya "Summa Oriental (1513 - 1515)" ia menulis bahwa: Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya.

Kehidupan ekonomi dan sosial budaya
Berdasarkan berita yang diperoleh dari bangsa Portugis, kehidupan ekonomi masyarakat di Kerajaan Sunda dapat digambarkan. Menurut berita tersebut,
ibu kota Kerajaan Sunda terletak di pedalaman, sejauh dua perjalanan dari pesisir pantai utara. Para pedagang dari kerajaan Sunda sudah mampu melakukan transaksi perdagangan dengan pedagang asing dari kerajaan-kerajaan lain, seperti Malaka, Sumatra, Jawa Tengah dan Timur, Makassar. Kegiatan perdagangan antarpulau itu didukung oleh pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda yaitu Kelapa, Banten, Pontang, Cigede. Dengan demikian, kegiatan perekonomian pada sektor perdagangan di Kerajaan Sunda cukup maju. Komoditas yang diperdagangkan antara lain: lada, beras, hewan ternak, sayuran, buah-buahan. Untuk mendukung dan kelancaran perdagangan dari pesisir ke pedalaman, maka dibangunlah jalan yang baik. Selain sektor perdagangan, Kerajaan Sunda pun mengembangkan sektor pertanian yaitu berladang. Watak masyarakat Sunda yang senang berpindahpindah terlihat dari kegiatan berladang mereka. Tidak heran jika ibu kota Kerajaan Sunda sering berpindah-pindah, hal itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakatnya yang senang berpindah-pindah. Berdasarkan naskah Sahyang Siksakanda ng Karesian, susunan masyarakat terbagi ke dalam berbagai kelompok ekonomi yaitu: pandai besi, pahuma, penggembala, pemungut pajak, mantri, bhayangkara dan prajurit, kelompok rohani dan cendkiawan, maling, begal, dan copet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar