Mampukah kita menghitung nikmat-nikmat Allah Ta’ala
yang telah kita dapat hingga saat ini? Tentulah, TIDAK! Menghitung jumlah
nikmat dalam sedetik saja kita tidak mampu, terlebih sehari bahkan selama …
Mampukah
kita menghitung nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang telah kita dapat hingga
saat ini? Tentulah, TIDAK! Menghitung jumlah nikmat dalam sedetik saja kita
tidak mampu, terlebih sehari bahkan selama hidup kita di dunia ini. Tidur,
bernafas, makan, minum, bisa berjalan, melihat, mendengar, dan berbicara, semua
itu adalah nikmat dari Allah Ta’ala, bahkan bersin pun adalah sebuah
nikmat. Jika dirupiahkan sudah berapa rupiah nikmat Allah itu? Mampukah
kalkulator menghitungnya? Tentulah, TIDAK! Sudah berapa oksigen yang kita
hirup? Berapa kali mata kita bisa melihat atau sekedar berkedip? Sampai kapan
pun kita tidak akan bisa menghitungnya. Sebagaiman Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika
kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan
jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Qs. An Nahl: 18)
Lalu, apakah
yang harus kita lakukan setelah kita mendapatkan semua nikmat itu? Bersyukur
atau kufur? Jika memang bersyukur, apakah diri ini sudah tergolong hamba yang
mensyukuri nikmat-nikmat itu?
Karena itu,
kita Perlu mengetahui bagaimana cara bersyukur kepada Allah Ta’ala dan
bagaimana tata cara merealisasikan syukur itu sendiri. Ketahuilah bahwasannnya
Allah mencintai orang-orang yang bersyukur. Hamba yang bersyukur merupakan
hamba yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Seorang hamba dapat dikatakan
bersyukur apabila memenuhi tiga hal:
Pertama,
Hatinya
mengakui dan meyakini bahwa segala nikmat yang diperoleh itu berasal dari Allah
Ta’ala semata, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa
saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”. (Qs. An
Nahl: 53)
Orang yang
menisbatkan bahwa nikmat yang ia peroleh berasal dari Allah Ta’ala, ia
adalah hamba yang bersyukur. Selain mengakui dan meyakini bahwa nikmat-nikmat
itu berasal dari Allah Ta’ala hendaklah ia mencintai nikmat-nikmat yang
ia peroleh.
Kedua,
Lisannya
senantiasa mengucapkan kalimat Thayyibbah sebagai bentuk pujian terhadap
Allah Ta’ala
Hamba yang
bersyukur kepada Allah Ta’ala ialah hamba yang bersyukur dengan
lisannya. Allah sangat senang apabila dipuji oleh hamba-Nya. Allah cinta kepada
hamba-hamba-Nya yang senantiasa memuji Allah Ta’ala.
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan
terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan
bersyukur)”. (Qs. Adh Dhuha: 11)
Seorang
hamba yang setelah makan mengucapkan rasa syukurnya dengan berdoa, maka ia
telah bersyukur. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam,
dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ . غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang
siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii
ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghairi haulin minnii wa laa quwwatin”
(Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan
kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah
lalu.” (HR. Tirmidzi no. 3458. Tirmidzi berkata, hadits ini adalah
hadits hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Terdapat
pula dalam hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid
(alhamdulillah) sesudah makan dan minum” (HR. Muslim no. 2734).
Bahkan
ketika tertimpa musibah atau melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka
sebaiknya tetaplah kita memuji Allah.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم – إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ
قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ ». وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ ».
Dari Aisyah,
kebiasaan Rasulullah jika menyaksikan hal-hal yang beliau sukai adalah
mengucapkan “Alhamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmus shalihat”.
Sedangkan jika beliau menyaksikan hal-hal yang tidak menyenangkan beliau
mengucapkan “Alhamdulillah ‘ala kulli hal.” (HR Ibnu Majah no 3803
dinilai hasan oleh al Albani)
Ketiga,
Menggunakan
nikmat-nikmat Allah Ta’ala untuk beramal shalih
Sesungguhnya
orang yang bersyukur kepada Allah Ta’ala akan menggunakan nikmat Allah
untuk beramal shalih, tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Ia gunakan
matanya untuk melihat hal yang baik, lisannya tidak untuk berkata kecuali yang
baik, dan anggota badannya ia gunakan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.
Ketiga hal
tersebut adalah kategori seorang hamba yang bersyukur yakni bersyukur dengan
hati, lisan dan anggota badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah,
“Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. (Minhajul
Qosidin, hal. 305). Syukur dari hati dalam bentuk rasa cinta dan taubat yang disertai ketaatan. Adapun di lisan, syukur itu
akan tampak dalam bentuk pujian dan sanjungan. Dan syukur juga akan muncul
dalam bentuk ketaatan dan pengabdian oleh segenap anggota badan.” (Al
Fawa’id, hal. 124-125)
Dua
Nikmat Yang Sering Terlupakan; Nikmat Sehat Dan Waktu Luang
Hendaklah
kita selalu mengingat-ingat kenikmatan Allah yang berupa kesehatan, kemudian
bersyukur kepada-Nya, dengan memanfaatkannya untuk ketaatan kepada-Nya. Jangan
sampai menjadi orang yang rugi, sebagaimana hadits berikut,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Dari Ibnu
Abbas, dia berkata: Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Dua
kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan
waktu luang”. (HR Bukhari, no. 5933)
Al Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan: “Kenikmatan adalah keadaan yang
baik. Ada yang mengatakan, kenikmatan adalah manfaat yang dilakukan dengan
bentuk melakukan kebaikan untuk orang lain”. (Fathul Bari Syarh Shahih
Bukhari, penjelasan hadits no. 5933)
Ibnu
Baththaal rahimahullah mengatakan: “Makna hadits ini, bahwa seseorang
tidaklah menjadi orang yang longgar (punya waktu luang) sehingga dia tercukupi
(kebutuhannya) dan sehat badannya. Barangsiapa dua perkara itu ada padanya,
maka hendaklah dia berusaha agar tidak tertipu, yaitu meninggalkan syukur
kepada Allah terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Dan termasuk
syukur kepada Allah adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Barangsiapa melalaikan hal itu, maka dia adalah orang
yang tertipu”. (Fathul Bari)
Kemudian
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas “kebanyakan manusia
tertipu pada keduanya” ini mengisyaratkan, bahwa orang yang mendapatkan taufiq
(bimbingan) untuk itu, hanyalah sedikit.
Ibnul Jauzi rahimahullah
menjelaskan: “Kadang-kadang manusia itu sehat, tetapi dia tidak longgar, karena
kesibukannya dengan mencari penghidupan. Dan kadang-kadang manusia itu cukup
(kebutuhannya), tetapi dia tidak sehat. Maka jika keduanya terkumpul, lalu dia
dikalahkan oleh kemalasan melakukan kataatan, maka dia adalah orang yang
tertipu. Kesempurnaan itu adalah bahwa dunia merupakan ladang akhirat, di dunia
ini terdapat perdagangan yang keuntungannya akan nampak di akhirat. Barangsiapa
menggunakan waktu luangnya dan kesehatannya untuk ketaatan kepada Allah, maka
dia adalah orang yang pantas diirikan. Dan barangsiapa menggunakan keduanya di
dalam maksiat kepada Allah, maka dia adalah orang yang tertipu. Karena waktu
luang akan diikuti oleh kesibukan, dan kesehatan akan diikuti oleh sakit, jika
tidak terjadi, maka itu (berarti) masa tua (pikun).
Maka
sepantasnya hamba yang berakal bersegera beramal shalih sebelum kedatangan
perkara-perkara yang menghalanginya. Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abdullah
bin Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menasihati
seorang laki-laki:
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ , شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ , وَصِحَّتِكَ قَبْلَ سَقْمِكَ , وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ , وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ , وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
”Ambillah
kesempatan lima (keadaan) sebelum lima (keadaan). (Yaitu) mudamu sebelum
pikunmu, kesehatanmu sebelum sakitmu, cukupmu sebelum fakirmu, longgarmu
sebelum sibukmu, kehidupanmu sebelum matimu.” (HR. Al Hakim)
Mengapa
Kita Harus Bersyukur?
Karena semua
nikmat itu berasal dari Allah Ta’ala
Allah Ta’ala
berfirman,
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa
saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”. (Qs. An
Nahl: 53)
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (Qs.
An Nahl: 114).
Bersyukur
merupakan perintah Allah Ta’ala
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah
kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku,
janganlah kalian kufur.” (Qs. Al Baqarah: 152)
Pada ayat
tersebut Allah memerintahkannya secara khusus, kemudian sesudahnya Allah
memerintahkan untuk bersyukur secara umum. Allah berfirman yang artinya, “Maka
bersyukurlah kepada-Ku.”
Yaitu
bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat ini yang telah Aku karuniakan kepada
kalian dan atas berbagai macam bencana yang telah Aku singkirkan sehingga tidak
menimpa kalian.
Disebutkannya
perintah untuk bersyukur setelah penyebutan berbagai macam nikmat diniyah yang
berupa ilmu, penyucian akhlak, dan taufik untuk beramal, maka itu menjelaskan
bahwa sesungguhnya nikmat diniyah adalah nikmat yang paling agung. Bahkan,
itulah nikmat yang sesungguhnya. Apabila nikmat yang lain lenyap, nikmat
tersebut masih tetap ada.
Hendaknya
setiap orang yang telah mendapatkan taufik (dari Allah) untuk berilmu atau
beramal senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut. Hal itu supaya
Allah menambahkan karunia-Nya kepada mereka. Dan juga, supaya lenyap perasaan ujub
(kagum diri) dari diri mereka. Dengan demikian, mereka akan terus disibukkan
dengan bersyukur.
Jika tidak
bersyukur, berarti ia telah kufur
“Karena
lawan dari syukur adalah ingkar/kufur, Allah pun melarang melakukannya. Allah
berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian kufur”. Yang dimaksud dengan
kata ‘kufur’ di sini adalah yang menjadi lawan dari kata syukur. Maka, itu
berarti kufur di sini bermakna tindakan mengingkari nikmat dan menentangnya,
tidak menggunakannya dengan baik. Dan bisa jadi maknanya lebih luas daripada
itu, sehingga ia mencakup banyak bentuk pengingkaran. Pengingkaran yang paling
besar adalah kekafiran kepada Allah, kemudian diikuti oleh berbagai macam
perbuatan kemaksiatan yang beraneka ragam jenisnya dari yang berupa kemusyrikan
sampai yang ada di bawah-bawahnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 74)
Penopang
Tegaknya Agama
Al ‘Allamah
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan di dalam sebuah kitabnya yaitu Al
Fawa’id, “Bangunan agama ini ditopang oleh dua kaidah: Dzikir dan
syukur. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kepada-Ku,
Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian
kufur.” (Qs. Al Baqarah: 152).”
Ketika
bersyukur kepada Allah, maka Allah akan tambahkan nikmat itu menjadi semakin
banyak
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan
(ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Qs. Ibrahim: 7).
Semua nikmat
yang diperoleh, kelak akan dimintai pertanggungjawaban
AllahTa’alaberfirman,
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian
kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan di dunia itu)” (Qs. At Takatsur: 8).
Syaikh As
Sa’dirahimahullahmenerangkan, nikmat yang telah kalian peroleh di dunia,
apakah benar telah kalian syukuri, disalurkan untuk melakukan hak Allah dan
tidak disalurkan untuk perbuatan maksiat? Jika kalian benar-benar bersyukur,
maka kalian kelak akan mendapatkan nikmat yang lebih mulia dan lebih utama.
Allah Ta’ala
berfirman,
وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ
“Dan
(ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka
dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan
duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini
kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan” (Qs. Al Ahqaf: 20).
Allah akan
memberikan balasan kepada orang yang bersyukur
Sebagaimana
firman Allah Ta’ala,
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
“Dan kami
akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (Qs. Ali Imran:145)
Semoga kita
termasuk dalam orang-orang yang mengingat nikmat Allah Ta’ala dengan
bersyukur.
اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ .
“Ya Allah!
Berilah pertolongan kepadaku untuk menyebut namaMu, syukur kepadaMu dan ibadah
yang baik untukMu
Wa billahi
taufiq wal hidayah,
wassalamu'alaikum
wa rahmatullahi wa barakatuh,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar