Ketika
membaca artikel cara mandi junub ini tolong
diperhatikan kesamaan warna tulisan karena menunjukkan bahwa keduanya
adalah sama atau berkaitan, jika ingin pembahasan yang lebih ringkas,
silahkan baca artikel panduan mudah mandi janabah
Hal-Hal Yang Mewajibkan Mandi
Satu : Keluarnya mani dengan
disertai syahwat.
Baik pada
laki-laki atau perempuan, dalam keadaan tidur maupun terjaga.
Dalil
tentang syarat "keluarnya mani"
1. Hadits
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata : "apakah wajib atas
seorang wanita untuk mandi bila dia bermimpi?. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam menjawab : Iya bila ia melihat adanya air mani” [1]
2. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Air itu
hanyalah karena air”. [2]
Maknanya
adalah air untuk mandi itu menjadi wajib hukumnya untuk diguyurkan ke tubuh
karena keluarnya air mani dari tubuh tersebut, jika tidak keluar maka tidak
wajib mandi,,, Sehingga
1-Kalau
seseorang tidur dan bermimpi dan melihat ada mani yang keluar,
maka wajib mandi
2-Kalau seseorang tidur dan bermimpi
tetapi tidak melihat adanya mani yang keluar, maka tidak wajib
mandi
3-Kalau seseorang tidur dan tidak bermimpi dan dia melihat ada mani yang keluar, maka dia wajib mandi
4-Kalau seseorang tidur dan tidak bermimpi dan tidak melihat adanya mani yang keluar maka dia tidak wajib mandi
5-Kalau seseorang dalam kondisi tidak tidur (terjaga) dan keluar mani disertai syahwat maka dia wajib mandi.
6-Kalau seseorang dalam kondisi tidak tidur (terjaga) dan keluar mani tidak disertai syahwat maka tidak wajib mandi (semisal karena kedinginan atau penyakit) pada hal ini ada perbedaan pendapat tentang kewajiban mandinya.
Dalil
tentang syarat "disertai syahwat"
Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu : “Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : Jika kamu memancarkan mani dengan kuat) maka mandilah janabah dan jika tidak (keluar dengan kuat), maka tidak wajib mandi.
Dan dalam
lafazh yang lain : “Jika kamu melihat mani yang memancar dengan kuat
maka mandilah”.
Dan dalam
lafazh yang lain : “Jika kamu memancarkan mani dengan kuat maka
mandilah”[3]
Sisi
pendalilan : Mani
itu hanya bisa keluar dengan kuat dan memancar jika disertai syahwat,
sehingga jika mani keluarnya tidak disertai dengan syahwat
maka tidak wajib mandi, contohnya keluar mani karena kedinginan
atau karena sakit dan yang semisalnya.
Dua : Bertemunya kemaluan suami dan istri
walaupun tidak keluar mani.
Hal ini
berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda
: “Apabila seseorang duduk antara empat bagiannya (tubuh perempuan)
kemudian ia bersungguh-sungguh [yakni melakukan hubungan
suami-istri] maka wajib baginya untuk mandi.
Dan salah
satu riwayat dalam Shohih Muslim “walaupun tidak
keluar”. [4]
Kata Imam
An-Nawawy [5] : Makna hadits adalah kewajiban mandi tidak sebatas hanya
karena keluarnya mani, tetapi kapansaja kemaluan
laki-laki tenggelam dalam kemaluan wanita maka wajib atas keduanya
untuk mandi.---(meskipun tidak keluar mani, pen)
Ada
kontradiksi?: Hadits Abu Sa’id menyatakan jika
keluar mani maka wajib mandi, jika tidak keluar maka tidak wajib
mandi. Sedangkan hadits Abu Hurairah, walaupun tidak keluar mani tetap
wajib mandi.
Jawaban:
Terkhusus untuk hukum dalam hubungan pasutri (jima') hadits Abu Hurairah telah memansukh
(menghapus) hukum yang ada pada Hadits
Abu Sa’id (jima' yang tidak mengeluarkan mani, tidak wajib mandi).
Hal ini
diperjelas oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu:
“Sesungguhnya
mandi (hanya akan menjadi wajib, pen) dengan sebab keluarnya air mani
adalah rukhshoh (keringanan) pada awal Islam. Kemudian sesudah
itu, kami diperintahkan untuk (tetap) mandi (meskipun tidak keluar mani,
pen) ”[6]
Tiga : Perempuan yang suci dari Haid dan
Nifas.
Adapun haid,
dalil-dalilnya sebagai berikut :
a. Firman
Allah Ta’ala
“Jika mereka telah suci maka datangilah
mereka sesuai dengan apa yang Allah perintahkan kepada kalian “.[7]
Kata Imam
An-Nawawy : Sisi pendalilan dari ayat adalah bolehnya suami menjima’ isteri-isterinya
(atau budaknya) dan tidaklah boleh dijima' kecuali dengan mandi (terlebih dahulu,
dan ada kaidah, pen) apa-apa yang membuat
tidak sempurna sebuah kewajiban kecuali dengannya,
maka perkara itu ikut menjadi wajib.[8]
Maksudnya: telah suci adalah syarat wajib dan kesucian itu
tidaklah sempurna kecuali dengan mandi, maka mandi itu ikut menjadi wajib
supaya boleh berjima'.
b. Hadits
‘Aisyah tatkala Nabi berkata kepada Fatimah binti Abi Hubeisy :
“Jika waktu
haid datang maka tinggalkanlah sholat dan jika telah selesai maka mandilah
dan sholatlah”. [9]
c. Ijma’
Kata Imam
An-Nawawy : Ulama telah sepakat tentang wajibnya mandi karena sebab haid dan
sebab nifas dan di antara yang menukil ijma’ pada keduanya adalah Ibnu Mundzir
dan Ibnu Jarir dan selainnya [10]
Kata Ibnu
Qudamah : tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya mandi karena haid dan
nifas [11]
Adapun
Nifas, dalilnya adalah Ijma’ sebagaimana telah dinukil oleh An-Nawawy dan Ibnu
Qudamah diatas.
Kata Ibnu
Qudamah : Nifas sama dengan haid karena sesunguhnya darah nifas adalah darah
haid, karena itu ketika seorang wanita hamil maka dia tidak haid sebab darah
haid tersebut dialihkan menjadi makanan janin. Maka tatkala janin tersebut
keluar, maka keluar juga darah karena tidak ada pengalihannya maka dinamakan
nifas.[12]
Kata
Asy-Syirazy : Adapun darah nifas maka mewajibkan mandi karena sesungguhnya itu
adalah haid yang terkumpul, dan diharamkan puasa dan jima’ dan gugur kewajiban
sholat maka diwajibkan mandi seperti haid [13]
Empat : Orang kafir yang masuk Islam.
Apakah dia
kafir asli atau murtad, ia telah mandi biasa sebelum islamnya atau tidak,
didapati darinya ketika masih kafir, apa-apa yang mewajibkan mandi atau tidak.
Dalil-dalilnya
:
a. Hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim tentang
kisah Tsumamah bin Utsal radhiyallahu ‘anhu yang sengaja mandi[14] kemudian
menghadap kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk masuk
Islam.
b. Hadits Qois bin A’shim radhiyallahu ‘anhu :
“Saya
mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk masuk Islam
maka Nabi memerintahkan kepadaku untuk mandi dengan air dan daun bidara”.[15]
Sisi pendalilannya : bahwasanya ini adalah perintah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Dan asal dari perintah menunjukkan hukum wajib kecuali kalau ada dalil lain yang menurunkan derajatnya. Wallahu A’lam.[16]
Lima: Meninggal (mati)
Maksudnya wajib bagi orang yang hidup untuk memandikan orang yang meninggal.
Maksudnya wajib bagi orang yang hidup untuk memandikan orang yang meninggal.
Adapun
dalil-dalilnya :
1. Hadits
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang orang yang jatuh dari ontanya dan
meninggal, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda
: “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara dan kafanilah dengan dua
baju”. [17]
2. Hadits
Ummu ‘Athiyah tatkala anak Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
meninggal, beliau bersabda : “Mandikanlah dia tiga kali atau lima atau
tujuh atau lebih jika kalian melihatnya dengan air dan daun bidara”.[18]
TATA CARA MANDI JUNUB
terbagi
menjadi 2 cara :
1. Cara
yang mujzi` (yang mencukupi/memadai)
2. Cara
yang sempurna
Faedah:
Kata Syeikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah : batasan antara cara yang sempurna dengan yang
cukup adalah apa-apa yang mencakup wajib maka itu sifat cukup, dan apa-apa yang
mencakup wajib dan sunnah maka itu sifat sempurna. [19]
Adapun tata
cara yang mujzi`:
1. Niat
Akan Melaksanakan Mandi Junub Bukan Sekedar Mandi Biasa.
Karena niat
adalah syarat sahnya seluruh ibadah, sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niat
dan sesungguhnya setiap orang sesuai dengan apa
yang dia niatkan”. [20]
Penggalan yang pertama bermakna ia berniat untuk mengerjakan mandi junub, bukan mandi mandi
seperti biasa. Penggalan yang kedua bermakna
ia meniatkan mandi junub tersebut dalam rangka mentaati Allah dan
RasulNya.
2. Menyiram
Kepala Sampai Ke Dasar Rambut Dan Seluruh Anggota Badan Dengan Air.
Dalil-dalilnya
:
1) Firman
Allah Ta’ala :
“Dan jika
kalian junub maka bersucilah”.[21]
Kata Ibnu
Hazm : Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi-Pent) maka dia telah menunaikan
kewajibannya yang Allah wajibkan padanya [22]
2) Hadits
Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu :
“Kami (para
shahabat) saling membicarakan tentang mandi junub di sisi Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam maka beliau berkata : Adapun saya, cukup
dengan menuangkan air di atas kepalaku tiga kali kemudian setelah itu
menyiramkan air ke seluruh badanku”. [23]
3). Dari
‘Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu[24], beliau berkata :
“Dan yang
terakhir adalah diberikannya satu bejana air kepada yang orang yang terkena
janabah lalu beliau (Nabi) bersabda : Pergilah dan tuangkanlah air
itu atas dirimu“.
Kata Syeikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam tidak menjelaskan bagaimana cara menuangkan air kepada dirinya.
Seandainya mandi itu wajib/harus sebagaimana tata cara mandinya Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam (yang sempurna-pent.), tentunya
Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjelaskan kepada orang
tersebut, karena menunda penjelasan pada saat dibutuhkan adalah tidak
boleh”.[25]
Adapun Tata Cara Mandi Wajib Yang
Sempurna:
Ada dua
hadits yang menjadi pokok pendalilannya, yaitu hadits Aisyah dan hadits
Maimunah radhiyallahu ‘anhuma.
Satu : Sifat mandi junub dalam
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Lafazh
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا
اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ -وَفِيْ روَايَةٍ لِمُسْلِمٍ ثُمَّ
يَفْرُغُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ- ثُمَّ تَوَضَّأَ
وُضُوْئَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُخَلِّلًُ بِيَدَيْهِ شَعْرَهُ حَتَى إِذَا ظَنَّ
أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
“Bahwasanya
Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kalau mandi dari janabah maka
beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya –dalam riwayat Muslim,
kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanannya keatas tangan kirinya
lalu beliau mencuci kemaluannya- kemudian berwudhu sebagaimana wudhunya untuk
sholat kemudian memasukkan jari-jarinya kedalam air kemudian menyela
dasar-dasar rambutnya sampai beliau merasa telah sampainya air kedasar
rambutnya kemudian menyiram kepalanya dengan kedua tangannya sebanyak tiga kali
kemudian beliau menyiram seluruh tubuhnya.[26]
Dalam hadits
diatas tidak disebutkan pensyaratan niat, namun itu tidaklah berarti gugurnya
pensyaratan niat tersebut karena telah dimaklumi dari dalil-dalil lain
menunjukkan disyaratkannya niat itu dan telah kami sebutkan sebagaian darinya
dalam pembahasan diatas.
Maka dari hadits
‘Aisyah diatas dapat disimpulkan sifat mandi junub sebagai berikut :
1. Mencuci kedua telapak tangan.
Dan ada
keterangan dalam salah satu riwayat Muslim dalam hadits ‘Aisyah ini bahwa
telapak tangan dicuci sebelum dimasukkan ke dalam bejana.
2. Menuangkan air dengan tangan kanannya keatas tangan kirinya lalu mencuci
kemaluannya.
3. Berwudhu dengan wudhu yang sempurna sebagaimana berwudhu untuk sholat.
4. Memasukkan kedua tangan kedalam bejana untuk menciduk air dengan sekali
cidukan, kemudian menuangkannya diatas kepala. Kemudian memasukkan jari-jari
diantara bagian-bagian rambut dan menyela-nyelainya sampai ke dasar rambut di
kepala.
5. Menyiram kepala tiga kali dengan tiga kali cidukan.
Dan
diterangkankan dalam hadits ‘Aisyah riwayat Muslim :
“Adalah Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bila mandi dari junub, maka beliau
meminta sesuatu (air) seperti Hilab (semacam kantong yang dipakai untuk
menyimpan air susu yang diperah dari binatang), kemudian beliau mengambil air
dengan telapak tangannya maka beliau memulai dengan bagian kepalanya sebelah
kanan kemudian yang kiri, kemudian beliau (menuangkan air) dengan kedua
tangannya diatas kepalanya”.
6.
Kemudian menyiram air kesemua bagian tubuh.
Tambahan:
Hendaknya
memulai dengan anggota-anggota badan bagian kanan
Hadits
‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim :
“Adalah Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyenangi yang kanan dalam
bersendal (sepatu), bersisir, bersuci dan dalam seluruh perkaranya”.[27]
Dua : Sifat mandi wajib dalam hadits
Maimunah radhiyallahu ‘anha.
Adapun cara
yang kedua :
Lafazh
hadits Maimunah bintul Harits radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :
وَضَعْتُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
وَضُوْءَ الْجَنَابَةِ فَأَكْفَأَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى يَسَارِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ
ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ فَرْجَهُ ثُمَّ ضَرَبَ يَدَهُ بِالأَرْضِ أَوِ الْحَائِطِ
مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ
ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى رَأْسِهُ الْمَاءَ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ
تَنَحَّى فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا فَجَعَلَ
يَنْفُضُ الْمَاءَ بِيَدَيْهِ.
“Saya
meletakkan untuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam air
mandi janabah maka beliau menuangkan dengan tangan kanannya diatas tangan
kirinya dua kali atau tiga kali kemudian mencuci kemaluannya kemudian
menggosokkan tangannya di tanah atau tembok dua kali atau tiga kali kemudian
berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air) kemudian mencuci mukanya dan kedua
tangannya sampai siku kemudian menyiram kepalanya kemudian menyiram seluruh
tubuhnya kemudian mengambil posisi/tempat, bergeser lalu mencuci kedua kakinya
kemudian saya memberikan padanya kain (semacam handuk-pent.) tetapi beliau
tidak menginginkannya lalu beliau menyeka air dengan kedua tangannya. [28]
Dalam sifat
mandi junub riwayat Maimunah diatas berbeda dengan sifat mandi junub dalan
hadits ‘Aisyah pada beberapa perkara :
Dalam hadits
Maimunah ada tambahan menggosokkan tangan ke tanah atau tembok.
Dalam hadits Maimunah tidak ada penyebutan menyela-nyelai rambut.
Dalam salah satu riwayat Bukhary-Muslim pada hadits Maimunah ada penyebutan bahwa kepala disiram tiga kali, namun tidak diterangkan cara menuangkan air diatas kepala sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah.
Juga riwayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada pengusapan kepala dalam hadits Maimunah. Yang ada hanyalah menyiram kepala tiga kali.
Dalam hadits
Maimunah mencucikan kaki dijadikan pada akhir mandi sedangkan dalam hadits
‘Aisyah mencuci kaki ikut bersama dengan wadhu.
Catatan
Penting
Syeikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa memang ada beberapa perbedaan antara
hadits ‘Aisyah dan hadits Maimunah dan itu banyak terjadi dalam beberapa
‘ibadah yang dikerjakan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Yaitu beliau kerjakan ‘ibadah tersebut dengan bentuk yang berbeda-beda untuk
menunjukkan kepada umat bahwa ada keluasan dalam bentuk-bentuk ‘ibadah
tersebut. Sepanjang ada tuntunan dalam Syari’at yang menjelaskan bentuk-bentuk
‘ibadah tersebut maka boleh dikerjakan seluruhnya atau dikerjakan secara silih
berganti.[29]
Beberapa permasahan terkait:
1. Disyariatkan menyela-nyelai jenggot
Diambil dari hadis Aisyah: “kemudian menyela-nyelai dengan jari-jarinya dasar-dasar rambut”
Menunjukkan umumnya rambut jenggot dan kepala walaupun yang paling nampak didalamnya adalah rambut kepalanya.[30]
2. Tidak ada perbedaan tata cara mandi janabah antara laki-laki dan wanita, hanya saja bagi wanita kecuali dalam hal membuka kepang rambutnya. Dan membuka kepang rambut bagi perempuan tidaklah wajib bila air dapat sampai ke pangkal rambut tanpa membuka kepangnya.
Sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “Sesungguhnya ada seorang perempuan bertanya : wahai Rasulullah, sesungguhnya saya perempuan yang sangat keras kepang rambutku apakah saya harus membukanya untuk mandi janabah ? Rasulullah menjawab : Tidak, sesungguhnya cukup bagi kamu untuk menyela-nyelai kepalamu tiga kali kemudian menyiram air diatasnya, maka kamu sudah suci”.[31]
3. Adapun orang yang haid atau nifas, maka tata cara mandinya sama dengan mandi janabah kecuali dalam beberapa perkara:
a. Disunnahkan baginya untuk mengambil potongan kain, kapas atau yang sejenisnya kemudian diberi wangi-wangian/harum-haruman kemudian dioleskan/digosokkan pada tempat keluarnya darah (kemaluannya) untuk membersihkan dan mensucikan dari bau yang kurang sedap.[32]
b. Disunnahkan pula untuk mandi dengan air dan daun bidara sebagaimana hadist ‘Aisyah diatas dan disunnahkan bagi wanita untuk membuka kepang rambutnya[33]
4. Tidaklah makruh mengeringkan badan dengan kain, handuk, tissu atau yang sejenisnya, karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal tersebut, dan hukum asal sesuatu adalah mubah (boleh). Tapi tidaklah diragukan bahwa yang paling utama adalah membiarkannya tanpa dikeringkan berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Bukhary-Muslim :
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengakhirkan sholat ‘Isya sampai mendekati pertengahan malam. Maka keluarlah ‘Umar lalu berkata : “Wahai Rasulullah, para perempuan dan anak kecil telah tidur’. Maka keluarlah beliau dan kepalanya masih meneteskan air seraya berkata : “Andaikata tidak memberatkan umatku atau manusia maka saya akan memerintahkan mereka untuk melakukan sholat (‘Isya) pada waktu ini”.[34]
5. Sudah cukup mandi dari wudhu, maka barang siapa yang mandi dan tidak berwudhu maka sudah terangkat darinya dua hadats, yaitu hadats kecil dan hadats besar dan boleh baginya untuk sholat.
Kata Imam Al-Baghawy : Dan ini adalah pendapat kebanyakan para ulama dan diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin Umar mandi kemudian berwudhu, maka saya berkata padanya : wahai bapakku bukankah cukup bagimu mandi dari wudhu ? Ibnu Umar menjawab : iya, akan tetapi saya kadang-kadang memegang kemaluanku, maka saya berwudhu.[35]
6. Tidak disyaratkan berwudhu lagi sesudah mandi janabah, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam langsung sholat sesudah mandi janabah tanpa berwudhu lagi,[36]
7. Tidak boleh dan tercelanya berlebih-lebihan (boros) dalam menggunakan air dalam wudhu dan mandi junub.[37]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar